KRISIS EKONOMI INDONESIA
·
Pengertian Krisis
Ekonomi
Krisis
ekonomi ialah istilah yang digunakan pada bidang ekonomi dan mengacu pada
perubahan drastis pada perekonomian. Perubahan ekonomi yang terjadi secara
cepat tersebut mengarah pada turunnya nilai tukar mata uang dan harga kebutuhan
pokok yang semakin tinggi. Krisis ekonomi dapat melanda suatu negara apabila
perubahan perekonomian sudah tidak dapat dibendung lagi. Penyebab krisis ialah :
1. Tidak
sehatnya lembaga keuangan non bank, karena banyaknya penggunaan modal LN (cap
inflow) jangka pendek untuk membiayai boom investasi yang berorientasi
domestik.
2. Berkurangnya
kepercayaan investor terhadap prospek dan kemampuan ekonomi thailand dalam menangani
defisit transaksi berjalan yang besar dan semakin besar.
Krisis
ekonomi 1998 adalah krisis yang telah memukul sistem ekonomi di Asia terutama
Asia Tenggara dan Korea Selatan. Krisis ini diawali dengan tingginya pinjaman
dollar dari Negara seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Hal tersebut
meningkatkan resiko mata uang (currency risk) pada sektor keuangan dan
perusahaan di Negara tersebut. Hal ini terbukti, diawali dengan adanya
spekulasi besar2an terhadap mata uang bath. Dimana hedge fund amerika yang
dulunya memegang bath melepas senilai $400 juta mata uang Thailand tersebut
pada tahun 1996. Hedge fund amerika melepas bathnya karena kehilangan
kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur. Langkah hedge fund di Thailand
akhirnya merembet ke Indonesia.
Tahun
1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung
sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah
perekonomian Indonesia. Mungkin dia (Krisis Ekonomi) akan selalu diingat,
sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi
ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise. Hanya
dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai
dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua
bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Selama
periode sembilan bulan pertama 1998, tak lain lagi merupakan periode paling
hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama
tahun 1997, berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai
dirasakan secara nyata oleh masyarakat maupun di dunia usaha.
Dana
Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun
terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan
situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis
ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.
Salah
satu contoh dampak yang ditimbulkan dari adanya krisis ekonomi tahun 1998
adalah ketika thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan
jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di
Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan
pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket
bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan
dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah
dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody’s
menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi “junk bond”.
Faktor-faktor penyebab krisis ekonomi yang berkepanjangan
di Indonesia, antara lain di sebabkan:
·
Krisis Ekonomi Periode
I (Juli 1997 s/d bulan Oktober 1999).
1. Krisis
kepercayaan terhadap uang rupiah di mana masyarakat lebih mempercayai US dollar daripada rupiah dan akibatnya
mereka berlomba-lomba menukar uang rupiahnya ke mata uang US dollar. Hal ini
disebabkan antara lain kurang transparansinya pihak pemerintah dalam mengelola
keuangan negara. Perlunya transparansi dalam konteks penggunaan anggaran
belanja negara sangat diperlukan sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Kita tidak akan mendapat kepercayaan bila tida ada transparansi. Lebih cepat
tindakan diambil akan lebih cepat pula kita menuai buah usaha kita.
2. Krisis
rupiah yang semula hanya bersifat kejutan dari luar (external shock) telah
meluas menjadi krisis ekonomi yang berakibat luas, baik terhadap perusahaan
maupun rumah tangga. Fondasi perekonomian Indonesia yang semula dianggap kuat
ternyata tidak menunjukkan ketahanan menghadapi permasalahan akibat krisis
nilai rupiah terhadap US dollar. Dari krisis ini tampak betapa secara
struktural modal swasta berskala besar sangat lemah sebagaimana diperlihatkan
oleh besarnya hutang dan lemahnya daya saing
di pasar yang semakin terbuka. Pemerintah pun tidak mempunyai kewibawaan
yang memadai dalam mengatasi krisis ini.
Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US dollar berdampak luas, karena
otoritas moneter juga melakukan kebijaksanaan uang ketat. Akibatnya, baik pengusaha maupun rumah-tangga
terkena dua-kali pukulan. Pukulan dari melemahnya Rupiah dan pukulan akibat
langkanya Rupiah.
3. Akibat
Peraturan Pemerintah yang dikenal dengan Paket Oktober 1988 yang memungkinkan
seseorang dengan modal Rp. 10.000.000.000,- dapat mendirikan bank berdampak
buruk akibat kurang pengawasan dari Bank Indonesia. Bank Indonesia tidak atau terlambat men-deteksi pelanggaran
yang dilakukan oleh bank-bank Swasta. Hal ini disebabkan karena ketidak-siapan
aparat dan sistim dalam mengawasi ratusan bank yang bermunculan dengan
cepat. Bank Indonesia kemungkinan tak
berani mengambil tindakan tegas karena pemiliknya punya akses kuat kepada
kekuasaan. Di samping itu bank swasta banyak menyelewengkan dana-dana yang
diterima dari Bank Indonesia maupun
dana-dana yang diterima dari masyarakat. Bank swasta banyak melakukan
pelanggaran antara lain dengan menyalurkan kredit bank kepada grupnya sendiri
atau anak perusahaan dari pemilik bank itu sendiri, antara lain disalurkan
kepada usaha Real-Estate (perumahan mewah), pembangunan gedung-gedung
bertingkat mewah, mendirikan super-market dan lain sebagainya yang tidak
menyentuh kepentingan masyarakat banyak, akibatnya penyalahgunaan kredit yang
sebagian besar digunakan untuk kepentingan pribadi dan ada juga yang di
investasikan di luar negeri akhirnya bank swasta tersebut tidak mampu
mengangsur cicilan kreditnya kepada bank penyalur kredit cq Bank Pemerintah/BI.
Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah
atas desakan IMF sebagai pra-syarat bantuan IMF kepada Indonesia, Pemerintah
Indonesia telah melikuidasi 16 bank swasta.
Pemerintah Indonesia juga
melakukan merger di antara bank-bank Pemerintah sendiri agar bank
Pemerintah bertambah kuat dan solid.
4. Hutang
luar negeri swasta berjangka pendek yang akan jatuh tempo pada bulan Maret
1998, telah mencapai US$. 9,6 milyard, meliputi hutang pokok dan pinjaman.
Posisi hutang luar negeri yang ditanggung oleh perusahaan swasta itu merupakan
bagian hutang luar negeri swasta sebesar US$ 65 milyard dari total pinjaman
luar negeri Indonesia sebesar US$ 117,3 milyard per September 1997. Jadi sekitar 50% atau US$ 32,5 milyard hutang
swasta dikategorikan hutang berjangka pendek, termasuk surat berharga
komersial. Diperkirakan, hutang swasta
yang jatuh tempo rata-rata mencapai US$ 2,708 milyard per bulan, jumlah yang
tentunya sangat membebani neraca pembayaran hutang ini jugalah yang menyebabkan
kelangkaan Dollar. Perkembangannya bukan
lagi apakah pinjaman swasta tersebut berjangka pendek, menengah atau
panjang. Namun Bank Indonesia harus
mendapat kepastian seberapa banyak sektor swasta akan segera memenuhi hutang
luar negerinya. Kewaspadaan terhadap pinjaman komersial luar negeri sektor swasta
penting dilakukan, minimal menyangkut dua hal. Pertama, adanya kecenderungan
yang terus meningkat dalam dua tahun terakhir dan kedua adanya kekurangan data
dari Pemerintah dalam mendapatkan angka jumlah hutang sektor swasta. Bahkan diperkirakan merosotnya nilai tukar
Rupiah antara lain disebabkan oleh terus membengkaknya hutang luar negeri yang
ditanggung swasta, sehingga begitu kewajiban untuk membayar hutang luar negeri
yang jatuh tempo, sementara pada saat yang sama kondisi moneter di dalam negeri
sedang kacau, maka kesulitan langsung membelit mereka (AD.Uphadi Media
Indonesia, 4 Desember 1997).Disarankan untuk menanggulangi hutang luar negeri
swasta agar diselesaikan oleh mereka sendiri. Pemerintah hanya sekedar memantau
saja.
5. Adanya
kolusi antara Bank Indonesia dengan para
pemilik Bank swasta dalam hal pemberian dana segar kepada pemilik bank swasta
yang berlebih-lebihan tanpa memperhitungkan bank swasta itu sehat atau tidak
menambah meningkatnya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan. Seyogyanya kasus
Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) yang dikenal dengan kasus Edy Tamsil
menjadi pelajaran yang pahit agar tidak terulang malah korupsi model Edy Tamsil
dikembangkan semakin canggih oleh para koruptor di dunia perbankan. Krisis
perekonomian Indonesia lebih diperparah dengan diberikannya dana Bantuan
Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) terhadap bank-bank swasta yang kental dengan
aroma KKN.
6. Adanya
pelarian modal investasi khususnya yang berasal dari dana BLBI dalam bentuk US
dollar oleh para konglomerat Indonesia ke luar negeri juga menambah
memperburuk-nya perekonomian Indonesia.
7. Menurunnya
nilai mata-uang Asia terhadap US dollar sekitar bulan Juli 1997 sampai dengan
bulan Desember 1997 seperti Baht Thayland, Won Korea Selatan, Ringgit Malaysia,
Peso Philippina, Dollar Taiwan, Dollar Singapore, Rupee India, turut-serta
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap
US dollar.
·
Krisis Ekonomi Periode
ke II (Oktober 1999 s/d sekarang)
1. Pernyataan
Presiden Abdurrahman Wahid bahwa apabila
Memorandum II dikeluarkan akan terjadi
“pemberontakkan nasional” dan bahwa lima
daerah akan merdeka termasuk Madura, serta bangsa Indonesia akan pecah apabila
dirinya mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden. Pernyataan ini menimbulkan
rasa ketakutan dari para pelaku bisnis dan masyarakat akibatnya nilai kurs
rupiah terhadap US dollar menurun tajam mendekati US $ 1 = Rp. 12.000,-
2. Pemerintah
terkesan ragu-ragu memberantas KKN, khususnya kepada para konglomerat penerima
dana BLBI yang sampai sekarang belum diambil tindakan-tindakan kepada Marimuntu
Sinivasan (Group Texmaco), Syamsul Nursalim dan
Prajogo Pangestu. Padahal bukti-bukti yang bersangkutan merugikan
keuangan negara sudah jelas. Alih-alih merasa bersalah malah ada dari anak
perusahaan yang bersangkutan mengajukan kredit tambahan modal kepada bank
pemerintah dengan alasan agar perusahaannya tetap jalan dan ribuan karyawannya
dapat tetap bekerja. Rupanya korupsi model Edy Tamsil betul-betul di manfaatkan
untuk mengeruk uang Negara melalui perbankan .
3. Hasil
Audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap penggunaan APBN Tahun Angaran
2000. Lembaga ini menemukan penyelewengan
dana senilai Rp. 8,5 triliun dengan 925 penyimpangan. Dan pada tahun
anggaran sebelumnya ditemukan penyelewengan senilai Rp. 3,87 triliun dengan 834
penyimpangan Yang lebih mengejutkan lagi dari Audit BPK Tahun Anggaran 2000
penyimpangan di Sekretariat. Negara dan Sekretariat Kepresidenan masing-masing
sebesar 50,82 % dan 57,93 %. Sementara di Departemen Kehakiman dan HAM
sebesar 57,01 %. Ini sungguh luar biasa. Lembaga-lembaga yang mestinya
memberi contoh efisiensi ternyata telah menjadi kampiun dalam penyimpangan uang
negara. (Sumber: Media Indonesia, 23 Februari 2001). Hal ini menambah ketidakpercayaan rakyat terhadap
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
4. KKN
belum sepenuhnya diberantas dan malah sekarang terkesan tambah meningkat dan
menjamur.
5. Stabilitas
politik dan keamanan yang tidak kondusif
akibat hubungan eksekutif dan legislatif memburuk, adanya gerakan-gerakan
separatis (GAM), OPM, Front Kedaulatan Maluku (RMS), konflik antar suku masih
berlanjut, kriminalitas melonjak, orang
makin sadis, pro dan kontra presiden Gus Dur kian sengit, hubungan dengan IMF
tersendat, investor berlarian ke negara lain, hal-hal ini lebih memperparah
keterpurukan perekonomian Indonesia.
6. Menurunnya
legitimasi Pemerintahan Gus Dur.
7. Kita
mendukung usaha-usaha Gus Dur untuk memberantas KKN terhadap mantan
pejabat-pejabat negara masa Orde Baru asal fair dan cukup bukti untuk segera
diperiksa dan di diadili di Pengadilan Negeri. Akan lebih arif apabila
Pemerintahan Gus Dur memberikan prioritas utama menangkap dan menyeret ke
Pengadilan para pelaku koruptor penerima dana BLBI dan para pejabat Bank atau
siapa saja yang terkait dan terbukti melakukan KKN dalam penyaluran dana BLBI.
Tapi kenyataannya alih-alih para tersangka BLBI dihadapkan ke Pengadilan malah
para tersangka tersebut dilepas dan dijadikan
tahanan rumah yaitu antara lain mantan Preskom Bank Moderen Samadikun
Hartono dan mantan Presdir Bank Umum Nasional Kaharuddin Ongko.
2.2
4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta
yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”.
Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung
mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan
sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut. Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati
dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa
menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi
untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali
tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah
disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius.
Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang
luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini
mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis.
Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari
keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu
bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di
negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai
tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai,
dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya
tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau
arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing,
dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada
tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997).
Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk
sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru
masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan
Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang
terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi,
tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional
justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara
lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain
itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi,
tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi
bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan.
Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah
“digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih
lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut
sebagai “crony capitalism”. Moral hazarddan penggelembungan aset tersebut,
seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku
yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else
loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar
ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam
kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas
waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada
saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18
bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam
tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2.
Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan
dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan
tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah
perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada
pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari
pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor
perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap
bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok
bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran
kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang
sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal,
tetapi tetap dibiarkan beroperasi.Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai
terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai
“peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya
yang tidak sehat.
3.
Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka
isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi
pula. Hill (1999) menulis bahwa
banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya
yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah,
untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi,
investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan
kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum.
Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus
dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama
Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu
menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala
kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu
mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan
pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu
berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling
utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis
kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi
modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi politik
telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar
dampak krisis ekonomi itu sendiri
2.3
USAHA-USAHA MENGATASI KRISIS EKONOMI
1. Transparansi
Pemerintah dalam konteks penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
sangat diperlukan agar mendapat kepercayaan
masyarakat.
2. Meningkatkan
accountability pengelolaan sumber-sumber pendanaan termasuk dana di luar
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
3. Meningkatkan
export non-migas dan membatasi habis-habisan import barang-barang konsumtif
termasuk mobil-mobil mewah yang sekarang ini malah diijinkan untuk di import.
Hal ini seyogyanya dilarang.
4. Pemerintah
harus berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada mata uang Rupiah dan
kepercayaan kepada bank-bank swasta yang dikelola dengan baik. Hal ini memang
tidak mudah tetapi harus dimulai selangkah demi selangkah.
5. Tabungan
Nasional harus digalakkan dan semua
pihak harus mengetatkan ikat pingang khususnya kepada para pejabat
Negara/pejabat Aparatur Pemerintah agar mempunyai rasa keprihatinan atas
situasi multi krisis yang dihadapi bangsa dan Negara Indonesia dewasa ini.
Hindarilah pemikiran mumpungisme di kalangan para pejabat Pemerintah.
Utamakanlah kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau
golongan.
6. Pemerintah
dalam hal ini Bank Indonesia seyogyanya memonitor dan mengawasi secara ketat
Bank-bank Swasta agar tidak melakukan kecurangan-kecurangan dalam mengelola
dana-dana yang diterima, baik dari Pemerintah maupun dari Masyarakat.
7. Indonesia
dengan jumlah penduduk lebih 200 juta
orang, rakyatnya lebih memerlukan terpenuhinya sandang pangan untuk keperluan
sehari-hari dari pada barang-barang import untuk keperluan konsumtif.
Seyogyanya Pemerintah Indonesia mengatasi krisis ekonomi dewasa ini lebih
meningkatkan hasil produksi pertanian, perkebunan, dan peternakan rakyat dengan
jalan memberikan subsidi atau kredit langsung kepada pengusaha kecil maupun
penyalurannya melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Tidak sebaliknya disalurkan
kepada para pengusaha besar / konglomerat yang selalu mempunyai masalah kredit
macet. Apabila hal ini dilakukan berarti Pemerintah turut serta memperkokoh
fondasi perekonomian yang langsung menyentuh kepentingan sebagian besar
penduduk Indonesia. Pada masa orde baru umumnya kredit Pemerintah diberikan
kepada hanya segelintir pengusaha besar (konglomerat) yang pada umumnya kredit
itu dipergunakan untuk kepentingan kelompok/group perusahaannya sendiri (
termasuk hutangnya dari luar negeri ) yang umumnya dipergunakan untuk membangun
hotel-hotel bintang lima, tourism-resort, mall/supermaket, gedung-gedung
apartemen mewah, perumahan-perumahan
mewah, pembangunan lapangan-lapangan golf dan lain sebagainya. Kesemua
pembangunan tersebut samasekali tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak.
Krisis moneter antara lain diakibatkan
oleh besarnya hutang-hutang luar negeri swasta tersebut, dampaknya berakibat
menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia. Hal ini seyogyanya jangan terjadi
lagi karena lebih dari 90 % rakyat Indonesia tidak membutuhkan mata uang dollar
untuk keperluan hidup sehari-hari.
8. Indonesia
adalah negara kepulauan, karena itu seyogyanya Pemerintah menggalakkan
pembangunan kapal-kapal inter-insuler (antar pulau) dari pada membangun
industri pesawat terbang dan proyek-proyek mercusuar lainnya yang tidak
menyentuh kepentingan rakyat banyak.
9. Proyek-proyek
pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat banyak seperti pembangunan pabrik
semen, pabrik textil, makanan, farmasi, listrik dan tilpun masuk desa, irigasi
dan lain sebagainya agar terus dilanjutkan.
10. Untuk
mengatasi masalah perbankan nasional, merger bank adalah jalan terbaik. Kemelut
yang dihadapi perbankan nasional saat ini lebih baik dihadapi dengan merger
daripada dengan penurunan rasio kecukupan modal (CAR = Capital Adequate Ratio).
Sebab apabila dilakukan pelanggaran CAR hanyalah untuk kepentingan sesaat yang
berakibat bank kurang kompetitif disamping memunculkan spekulasi rekap kedua.
11. Peringatan
IMF atas bahaya defisit APBN harus dicermati secara seksama. Konsep Pemerintah
untuk mengambil langkah-langkah dalam mengatasi defisit APBN 2001 antara lain:
Peningkatan PPh antara Rp. 20-30 T, Penarikan dana perimbangan antara Rp. 10-20 T, Pencabutan subsidi BBM Rp. 5 T,
Penggenjotan pemasukan dari BUMN dan BPPN sebesar Rp. 33 T, dan Penurunan porsi
pembiayaan proyek pemerintah sebesar
Rp. 19 T. Langkah-langkah ini apabila berhasil dilakukan Pemerintah
dapat menekan defisit anggaran walaupun bersifat sementara .
12. Bank
Indonesia dan bank-bank Pemerintah lainnya hendaknya selektif dan ekstra
hati-hati dalam menyalurkan kredit/penambahan modal kepada para
pengusaha/konglomerat. Apalagi kalau jelas-jelas diketahui bahwa para
pengusaha/konglomerat tersebut bermasalah dan diduga turut serta terlibat dalam
penyalahgunaan dana BLBI. Bank
Indonesia/bank Pemerintah harus bertanggung jawab atas penyaluran
kredit. Apabila ada indikasi
penyalahgunaan kredit bank (kredit macet) maka ke dua pihak baik penyalur
maupun penerima kredit ke dua-duanya harus ditindak tegas sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
13. Pemerintah hendaknya bertindak lebih tegas terhadap
oknum-oknum pejabat dan para pelaku bisnis
apabila mereka terbukti melakukan korupsi terhadap keuangan negara, pengadilan
hendaknya tidak ragu-ragu memberikan
hukuman yang seberat-beratnya, termasuk hukuman seumur hidup atau hukuman mati
kepada para pelaku mega korupsi. Hukuman mati kepada pelaku mega korupsi
diperlukan sebagai shock terapi dalam mengatasi masalah korupsi yang sekarang
menjamur di Indonesia. Sumber dari krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah
diakibatkan karena pemerintah sampai saat ini belum berhasil membersihkan KKN.